Jumat, 08 Juni 2012

Danang A. Prabowo: Sang Pembuat Jejak



Tulisan ini saya buat khusus teruntuk adik-adik mahasiswa baru IPB 2008 maupun mahasiswa baru dimanapun juga, dengan salah satu tujuannya melengkapi salah satu chapter buku pengembangan diri. Insya Allah tak ada kesombongan dan keangkuhan yang sengaja ingin saya tunjukkan atau merasa diri saya lebih baik dari orang lain melalui tulisan ini. Melainkan semua itu berfungsi sebagai penguat tulisan saya ini semata.  Masukan terhadap ini sangat diharapkan demi perbaikan ke depannya.
Assalamualaikum wr. wb.
Perkenalkan, saya Danang Ambar Prabowo. Mahasiswa tingkat akhir Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Saat ini, saya tengah menempuh student exchange program di Utsunomiya University, Jepang, selama 1 tahun di bawah laboratorium Biokimia dan pusat riset genetikanya.
Di luar aktivitas akademis, saya turut aktif dalam kegiatan dakwah tarbiyah di kampus dan juga beberapa organisasi yang peduli terhadap edukasi dan lingkungan dalam skala lokal, nasional, maupun internasional. Selain itu saya juga menaruh minat dan mendalami olahraga beladiri, fotografi, dan pengembangan sumberdaya manusia secara profesional.
Salah satu cita-cita besar yang kini tengah saya perjuangkan adalah meraih Nobel atau penghargaan internasional lainnya demi keharuman bangsa Indonesia di mata dunia dan juga demi dakwah. Tak ada yang tak mungkin saya wujudkan dari sebuah mimpi, selama hal tersebut terus saya perjuangkan dalam keridhoan Allah. Pun semua yang saya raih saat ini mulanya hanyalah mimpi-mimpi yang saya tuliskan di atas kertas usang dan mulanya begitu banyak yang mentertawakan dan mencemoohnya.
Karena saya menyadari bahwa masa depan yang cerah ditentukan dari pilihan dan tindakan strategis apa yang kita ambil saat ini dan bukan sekedar sesuatu yang terjadi secara kebetulan semata. Maka dengan menyadari hal tersebut, insya Allah akan kita pahami bahwa setiap detik yang kita miliki sangatlah teramat sayang jika dilewati tanpa torehan prestasi.
Melalui Mendiknas dan Dirjen Dikti, pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan saya sebagai Mahasiswa Berprestasi (Mawapres; dahulu mahasiswa teladan) Terbaik 1 tingkat nasional tahun 2007. Dan melalui tulisan ini, saya ingin mengajak Anda semua menyadari hakikat dasar bahwa setiap diri Anda adalah pribadi yang penuh prestasi dalam bidang Anda masing-masing. Dan dengan itu saya berharap Anda mampu mewujudkan impian-impian Anda.
Maka saatnya kini mengukir prestasi dengan gilang gemilang dan menyongsong masa depan yang paling cerah!


Saya akan memulai dari tiga pertanyaan sederhana yang sering diajukan kepada saya dalam berbagai kesempatan diskusi.

1. Apa makna prestasi dan penghargaan menurut saya?
Pertama, yang perlu dicatat bahwa pendapat saya ini bukanlah yang terbaik apalagi yang paling benar. Namun saya berusaha akan memberikan penjelasan sesuai dengan pola pikir saya dan beberapa masukan yang selama ini pernah saya dapatkan dari sosok-sosok prestatif lainnya.
Prestasi menurut saya secara umum adalah kewajiban akan sesuatu yang harus diraih oleh setiap insan. Bahkan prestasi adalah kodrat setiap manusia yang pasti akan diraihnya. Dimulai dari proses kelahiran Anda ke dunia, Anda sudah menjadi ditakdirkan menjadi pemenang. Pernahkah berpikir bahwa saat itu Anda adalah satu-satunya sperma dari sekian juta sperma yang berhasil membuahi sel telur melalui perjuangan berat? Dan hasil dari perjuangan itu adalah Anda saat ini yang tengah membaca tulisan saya ini. Anda adalah pemenang yang dilahirkan di dunia. The Born Winner!
Maka jika telah memahami dasar itu, kini saatnya Anda kembali bersiap untuk bersaing. Karena bukan Anda saja satu-satunya manusia yang dilahirkan di dunia ini bukan? Mereka yang terlahir ke dunia pun adalah pemenang. Nah, raihan prestasi (achievement)-lah yang akan membedakan Anda sebagai pemenang diantara manusia-manusia pemenang lainnya.
So… kita mulai dengan memahami makna prestasi terlebih dahulu. Maka jika ditanya tentang “apa itu prestasi?”, yang akan terbayang di benak setiap orang pada umumnya secara spontan adalah sosok juara, entah itu juara kelas, ataupun juara-juara lainnya yang berkaitan dengan nilai akademis. Demikian bukan?!
Tidak salah memang yang demikian. Namun belum mencakup makna prestasi secara utuh. Juara di kelas atau keberhasilan meraih nilai terbaik (sempurna) dalam ujian hanyalah satu bagian dari perwujudan makna prestasi. Maka mulai dari sekarang hendaklah kita perluas wawasan kita tentang makna prestasi.
Maka makna prestasi secara khusus menurut saya adalah suatu pencapaian (achievement), peningkatan (improvement), atau perubahan menuju sesuatu yang lebih baik dari kondisi sebelumnya. Apapun itu, sekecil apapun itu, asalkan lebih baik dari kondisi semula maka itu adalah prestasi. Contoh sederhananya:
Jika kemarin Anda bangun sholat subuh 1 menit setelah adzan berkumandang, namun hari ini Anda bangun 1 detik lebih cepat dari catatan waktu hari sebelumnya… itu adalah prestasi! Meskipun hanya berbeda 1 detik. Karena Anda lebih baik dari hari kemarin.
Hanya sayang sekali sedikit dari kita yang menyadari itu dan kemudian berorientasi selalu untuk mengejar prestasi yang besar-besar saja. Sekedar ingin cepat dikenal dan tenar. Padahal, bukankah berpuluh tahun bangsa kita memiliki pepatah bijak: “sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit”.
Cukup lama saya memperhatikan secara langsung bagaimana bangsa Jerman dan Jepang yang terkenal di dunia itu begitu menghargai pencapaian sekecil apapun dari usaha orang lain. Saya masih teringat ketika duduk di bangku kelas 4 SD di Jerman, ada seorang teman saya bernama Oliver yang memiliki sedikit keterbatasan mental di banding teman-teman lainnya di kelas. Suatu hari di kelas melukis, guru seni kami menugaskan kami untuk melukis pohon yang daunnya bewarna warni tatkala musim gugur tiba. Tiba-tiba tanpa sengaja Oliver menumpahkan cat warna di atas setengah kanvasnya hingga warnanya menjadi tak karuan. Saya dan teman asal India mentertawainya karena kecerobohannya itu sementara sebagian anak-anak Jerman ada yang memilih tetap diam atau membantunya.
Ketika guru seni kami melihat kejadian itu, beliau menghibur Oliver dan menyemangatinya untuk terus melukis di atas kanvas yang telah berlumuran cat warna itu. Sementara saya dan teman dari India mendapat teguran untuk tak mentertawakan teman yang tengah kesulitan. Dan tahukah Anda bahwa lukisan abstrak aneh Oliver itulah yang di kemudian hari mendapat paling banyak pujian dari para pengunjung pameran akhir tahun dan kelulusan angkatan saya tahun 1996. Meski Oliver akhirnya tak bisa melanjutkan ke sekolah umum setelah tamat SD karena keterbatasannya, namun saya dan saya yakin juga orang-orang yang hadir saat itu akan selalu ingat bagaimana ekspresi Oliver ketika ia berkata di atas panggung:
Ich bin nicht wie euch, als normale leuten. Aber sicher diesmal kann ich tun es besser als euch… (Aku tak seperti kalian yang normal. Tapi aku kali ini aku bisa melakukannya lebih baik dari kalian)” sambil dengan penuh kebanggaan menjunjung lukisan abstraknya, prestasinya itu. Dan sejak saat itu pula saya berjanji untuk tak pernah lagi memandang rendah pencapaian seseorang seberapapun itu.
Mungkin saya mentertawakan Oliver saat ia menumpahkan cat di kanvasnya karena terbawa iklim sosial Indonesia yang jarang menghargai pencapaian orang lain dalam kehidupan sehari-harinya.
Lain Jerman lain Jepang. Di negeri matahari terbit ini saya sangat sering mendengar orang Jepang mengatakan kata Sugoi” yang berarti hebat, keren, atau menakjubkan dengan ekspresi penuh dan sungguh-sungguh. Sedikit-sedikit Sugoi ada anak TK bisa nendang bola: Sugoi”, ada bocah kecil bisa nyanyi lagu yang sama berulang-ulang meski belepotan, maka tak henti-hentinya saya mendengar: Sugoi!” dari orang-orang di sekitarnya. Dan begitu juga teman di lab saya ketika saya mencoba berbicara dengan bahasa Jepang yang amburadul…: Sugoi!!! Demikian budaya Jepang menyemangati orang lain untuk selalu bisa lebih baik!
Kata lain yang sering saya dengar juga adalah: Oishi” (lezat atau enak untuk makanan). Pernah teman saya membawa manisan khas Okinawa ke lab. Satu persatu anak lab mencicipinya termasuk sensei. Maka bersahut-sahutanlah kata: Oishi” bahkan Sugoi Oishi” bergema.
Ketika giliran saya tiba mencicip… ternyata rasanya hambar malah aneh, namun demi melihat wajah seluruh anggota lab menanti pendapat saya… maka saya pun berkata: Oishi!” maka sumringahlah wajah mereka. Dan sejak saat itu juga saya belajar bahwa bangsa Jepang sangat menghargai makanan sedikit dan seenak (atau tak seenak) apapun itu.
Dan secara psikologis pula penghargaan sekecil apapun pada pencapaian sekecil apapun itu akan memicu semangat positif untuk mencapai sesuatu yang lebih baik dari waktu ke waktu.
Maka… demikianlah makna prestasi dan penghargaan menurut saya. Sekecil apapun kebaikan yang berhasil Anda raih saat ini, itu adalah prestasi Anda. Dan semakin banyak yang menghargai prestasi Anda itu, akan semakin kuat semangat berprestasi itu. Tapi jangan menunggu orang lain menghargai prestasi Anda itu. Mulailah dari diri Anda sendiri…
Paling tidak berteriaklah…:”Sugoi!!”

2.Mengapa Saya Harus Berprestasi?
Insya Allah saya telah menjelaskan makna prestasi menurut saya pada pembahasan sebelumnya. Dan sangatlah penting memahami makna dasar prestasi sebelum kita menyusun langkah-langkah jitu untuk menorehkan prestasi kita nantinya. Sekedar me-review bahwa makna dasar prestasi menurut saya adalah:
“Pencapaian (achievement), peningkatan (improvement), atau perubahan menuju sesuatu yang lebih baik dari kondisi sebelumnya. Apapun itu, sekecil apapun itu, asalkan lebih baik dari kondisi semula maka itu adalah prestasi.”
Nah… sekarang kita telah memahami makna dasar prestasi. Lalu mengapa saya harus berprestasi? Jawaban paling mudah yang bisa saya berikan secara spontan adalah: “Agar saya bisa lebih bermanfaat bagi orang lain.”
Saya kemudian menyadari satu hal yang penting, bahwa ketika saya bisa menjadi lebih baik dari sebelumnya (berprestasi), secara langsung maupun tak langsung saya turut memberikan dampak positif pada orang-orang di sekitar saya, selain tentunya bagi saya sendiri. Dan itupun melibatkan pertimbangan matang untuk mengambil keputusan secara tepat dalam kondisi diri optimal dan tenang.
Contoh paling mudah yang pernah saya alami adalah ketika suatu sore saya datang terlambat 10 menit ke latihan terpadu Taekwondo saat SMA dulu. Mulanya saya menganggap keterlambatan saya itu sebagai hal biasa dan tak menjadi masalah besar karena memang jarak dari rumah ke tempat latihan cukup jauh. Namun ternyata 10 menit yang saya lewatkan tersebut adalah saat terpenting latihan sore itu, karena di sanalah absensi penentuan siapa yang boleh ikut ujian kenaikan tingkat bulan berikutnya ditentukan. Dan saya satu-satunya anggota taekwondo yang tidak tercatat sebagai peserta ujian kenaikan tingkat tersebut. Betapa kecewanya saya dengan keputusan itu.
Saya mencoba melobi dengan berbagai alasan, namun kedisiplinan Sabeum (pelatih taekwondo) saya saat itu tak bisa digoyahkan untuk mengubah daftar peserta hari itu. Seolah latihan saya selama ini tak ada gunanya dan harus menunggu ujian berikutnya yang tentunya masih sangat lama. Saya melewatkan latihan sore itu tanpa semangat, apalagi mendengar percakapan teman-teman yang begitu bahagia akan ikut ujian kenaikan tingkat bulan depan.
Di saat itulah saya harus berani mengambil langkah penting dan jitu untuk kedepan. Hanya ada dua pilihan: Keluar dari tim taekwondo SMA atau terus nekad latihan meski harus berbeda sabuk dengan teman-teman satu angkatan yang berarti saya harus siap menanggung malu sebagai satu-satunya anggota tim yang tak naik tingkat, karena alasan sepele… terlambat datang saat latihan!
Alhamdulillah, di kemudian hari setelah kejadian itu saya tetap memutuskan untuk terus latihan taekwondo. Datang paling awal, menyapu lantai tempat latihan, menyiapkan alat-alat latihan, dan lainnya. Meski di sisi lain saya menghadapi tekanan dan rasa malu sebagai satu-satunya sosok yang tak akan ikut ujian, apalagi pelatih saya seolah tak memperhatikan saya karena sibuk menyiapkan teman-teman yang akan ikut ujian kenaikan tingkat.
Hingga di suatu sore setelah latihan dan seminggu menjelang ujian kenaikan tingkat dilaksanakan, pelatih senior saya memanggil saya dan berkata dengan bijak:
“Nang, taekwondo itu bukan dinilai dari sabuk warna apa yang engkau kenakan. Kalau sekedar ingin keren-kerenan memakai sabuk berwarna, yang hitam sekalipun, tak perlu susah-susah latihan taekwondo atau ikut ujian kenaikan tingkat juga bisa, mudah sekali malahan. Cukup beli sabuk di toko, terus kamu pakai saat latihan. Tapi apakah kemudian sabukmu itu yang menjamin kamu paham dan bisa melakukan teknik-teknik taekwondo? Enggak kan! Sabuk apa yang engkau pakai, akan ada tanggung jawabnya. Cukuplah sabukmu tetap yang paling rendah tapi teknikmu setingkat sabuk yang paling tinggi.
Sebenarnya Sabeum hanya mau memberi pelajaran padamu bahwa apapun yang engkau lakukan itu harus selalu penuh keseriusan dan kedisiplinan. Termasuk saat latihan taekwondo ini. Sabeum ingin melihat apakah kamu bisa dan mau berubah menjadi lebih baik atau justru menyerah setelah keputusan dahulu itu.”
Sejak saat itulah tak ada lagi beban saat latihan taekwondo di kemudian hari bersama teman-teman saya yang sabuknya setingkat lebih tinggi. Saya menyadari bahwa saya harus selalu menjadi lebih baik setiap waktunya, sedikit apapun perubahan itu, yang pasti harus lebih baik. Dan saya membuktikan satu tahun kemudian setelah peristiwa itu, dari 30an anggota tim taekwondo SMA, saya adalah satu dari dua orang yang berhasil meraih medali bagi tim SMA di Kejuaraan Daerah Taekwondo tingkat Pelajar tahun 2002.
Ada kebanggaan dan kepuasan tersendiri bagi saya pribadi ketika meraihnya, apalagi setelah latihan panjang dan keras selama itu. Bagi orang di sekitar saya, melalui prestasi yang saya raih itulah, kemudian saya bisa bermanfaat bagi orang lain dengan turut aktif melatih anggota tim taekwondo SMA setelahnya. Tak lupa saya selalu menyelipkan nasehat pelatih saya dulu tentang filosofi taekwondo. Dan alhamdulillah di tahun-tahun berikutnya tim taekwondo SMA saya dapat meraih lebih banyak medali bahkan hingga tembus ke kejuaraan nasional sebagai salah satu pemenangnya.
Saya tak menganggap bahwa saya satu-satunya sosok yang berperan atau berjasa di sana. Pastinya banyak pihak juga yang tak kalah penting perannya. Namun yang saya catat adalah ketika saya mampu berprestasi maka raihan prestasi saya itulah yang menjadi bukti penguat ketika mengarahkan orang lain. Akan lebih sulit bagi saya untuk menganjurkan kepada orang lain untuk melakukan ini dan itu dengan tujuan agar mereka menjadi lebih baik jika saya sendiri tak pernah mampu menjadi bukti itu sendiri.
Termasuk juga dengan tulisan saya ini. Tentu Anda akan menganggap tulisan ini hanya sebagai angin lalu, atau saya sekedar berteori semata jika saya sendiri tak pernah mengalaminya sendiri. Maka jika saya bisa menjadi bukti konkrit itu sendiri, insya Allah, apa yang saya sampaikan akan membuat Anda menjadi lebih yakin bukan?!
Semakin bagus prestasi Anda (ingat kembali makna dasar prestasi) akan semakin tinggi kredibilitas dan nilai diri Anda di mata orang lain yang berarti akan semakin luas jangkauan Anda untuk bermanfaat bagi orang lain.
Contoh lain yang lebih menakjubkan adalah sosok Rasulullah, Muhammad SAW. Bagaimana beliau benar-benar mengaplikasikan makna dasar prestasi dalam kehidupannya. Setiap detik hidup beliau adalah tentang prestasi. Menjadi lebih baik dari sebelumnya. Hingga sebelum diangkat menjadi Nabi atau menorehkan prestasi sejarah secara gilang gemilang pun orang-orang di sekitarnya telah mengakui keunggulan akhlaknya hingga ia dijuluki Al Amin (yang dipercaya). Maka perlahan ia pun menjadi panutan dan teladan bagi orang-orang disekitarnya, dicintai dan mencintai semua orang. Dan dari “prestasi” beliaulah kemudian beliau bisa bermanfaat bagi orang lain. Hal itu tentu tak lepas dari apa yang beliau raih yang kemudian menjadi teladan (bukti) bagi orang lain.
Dan di sisi lainnya… tentu prestasi yang Anda raih merupakan wujud kesyukuran diri Anda pada Allah karena Anda telah mau dan mampu mengoptimalkan apa yang telah Allah berikan pada Anda untuk sesuatu yang baik.
Dengan meraih prestasi pula berarti Anda mau menghargai waktu, diri Anda sendiri, dan perjuangan orang lain yang tak lain dan tak bukan adalah kedua orang tua Anda. Anda harus berprestasi karena itu adalah salah satu cara Anda membuktikan bahwa apa yang sudah Anda pelajari dalam hidup ini ada hasilnya. Dan semua itulah yang akan membawa anda menjadi yang akan diperhitungkan di masa depan.
Nah demikianlah salah satu alasan sederhana mengapa saya dan juga Anda harus berprestasi. Tentunya agar bermanfaat bagi diri Anda sendiri dan juga orang lain dalam lingkungan di sekitar Anda.
Jadi mengapa harus ragu lagi???… teriakkan dengan lantang:
“Setiap detiknya, Saya harus berprestasi!!!”
Harapannya adalah ada satu titik terang dalam diri Anda bahwa siapapun Anda… apapun latar belakang Anda, dan bagaimanapun kondisi Anda… tak ada yang salah dengan itu selama Anda mau dan mampu untuk terus bergerak menjadi lebih baik.
Saya kutipkan sedikit inti dari E-Mail tersebut adalah sebagai berikut:
“…wah Mas Danang sih enak. Latar belakangnya mendukung, keluarga juga tak ada masalah. Selalu berkecukupan, baik dari kondisi Mas sendiri maupun dari kondisi lingkungan di sekitar Mas. Udah bawaannya pintar dan cerdas. Jadi mau meraih prestasi apapun juga mudah. Gak seperti saya Mas… Keluarga saya ( dia menceritakan begini dan begitu…), orang desa yang pas-pasan pengetahuannya, saya hidup berkecukupan, mau sekolah juga kadang harus banting tulang… Gimana mau saya berprestasi dibanding anak-anak yang jauh lebih makmur hidupnya dibanding saya… Mas sih enak bisa ngomong ini itu karena itu mudah bagi Mas…”

Saya tersenyum membaca isi E-Mailnya… tapi bukan untuk meledek atau meremehkannya. Mungkin sebuah senyum yang diperlihatkan oleh seorang kakak kepada adiknya ketika mendengar curahan hatinya. Ketika hendak menekan tombol reply tiba-tiba saya berpikir mengapa saya tidak mencoba berbagi hal ini di blog saja. Dengan harapan tulisan saya tersebut akan bisa menjawab pertanyaan si pengirim email dan juga sebagai materi share di blog ini.

Saya menjawab E-Mailnya kurang lebih begini:
“Duhai adikku sayang, saudara karena pertalian ukhuwah nan indah. Saya memahami apa yang engkau rasakan ketika dirimu melihat bagaimana orang lain bisa mencapai hal-hal terindah dalam mimpinya. Bisa mewujudkan apa yang ia cita-citakan hingga semua orang suka padanya. Ia dikenal dimana-mana dan seolah ia adalah bintang di tengah gemerlap malam.
Sementara engkau merasa sebagai orang yang paling malang. Merasa tak pernah sedikitpun mencicip indahnya mimpi-mimpimu. Merasa tak seorangpun mengenalmu atau tak ingin mengenalmu. Jika engkau mengibaratkan dirimu dengan malam, engkau merasa bukanlah bintang yang bersinar, namun engkau justru merasa sebagai titik hitam yang tertelan oleh gelapnya malam.
Engkau merasa hidupmu begitu penuh kesialan, tak ada kemakmuran, dan tak ada keberuntungan. Yang engkau rasakan hanyalah kerja, usaha, dan banting tulang penuh dengan ujian berat yang tak pernah berhenti. Hingga engkau begitu menyalahkan apa yang sedang engkau miliki dan engkau dapatkan sekarang.
Saya paham itu… karena saya pun pernah seperti dirimu. Merasa, merasa, dan hanya merasa… selalu mendapat kesialan dan kepayahan. Maka izinkanlah saya sedikit menceritakan diri saya dahulu.
Masa kecil saya habiskan lebih banyak di desa terpencil. Selesai sekolah di SD yang kini telah hampir tak ada murid yang mau sekolah di sana lagi itu, kegiatan saya adalah bermain di sawah, mancing ikan, atau sekedar mengubek-ubek selokan untuk mencari ikan bersama teman-teman. Maka jangan engkau bayangkan, duhai Adikku, apakah aku kenal Nintendo, Playstation, atau mainan anak-anak kota lainnya. Jika anak-anak kota punya mobil-mobilan tamiya maka bersama teman-teman kecilku saya akan mencari pelepah pisang dan buah-buah kelapa kecil yang berjatuhan untuk dibuat mobil-mobilan. Dan itupun saya senangnya bukan main.
Jika anak-anak kota sudah menikmati siaran televisi di kamar keluarganya, maka saya harus menunggu sampai listrik masuk ke desa saya saat kelas 2 SD. Mau nonton TV pun saya harus ke kelurahan atau ke tempat orang yang dianggap kaya di desa, dan itupun harus berjubel-jubel bersama anak-anak dan penduduk desa lainnya hanya untuk nonton Si Unyil di minggu pagi atau terkadang Kstria Baja hitam di selasa sore. Belum lagi jika musim hujan tiba… maka bersiap-siaplah saya untuk menahan bau anyir dari lumpur-lumpur di kaki para “pengunjung” lainnya.
Bapak saya lama tugasnya ke luar daerah untuk menghidupi Ibu, saya, dan adik-adik saya, Berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Tapi saya tahu beliau orang yang bertanggung jawab dan baik pada keluarga. Tapi jangan kira pula masa kecil saya itu penuh dengan berbagai mainan atau barang-barang yang lazimnya dimiliki oleh anak-anak seumuran saya. Saya masih ingat bagaimana Ibu saya selalu marah ke saya kalau diajak jalan ke pasar kemudian saya lihat ada mainan plastik murahan di emperan toko di perjualbelikan. Mungkin murah, Adikku, mainan itu. Tapi sungguh tak pernah Ibuku membelikannya. Dulu saya selalu berpikir saya adalah anak yang paling malang. Tapi bertahun-tahun kemudian saya tahu bahwa yang beliau lakukan itu karena di satu pihak Ibu harus hemat, sementara di sisi lainnya Ibu ingin mengajarkanku bahwa hidup itu butuh kesabaran dan perjuangan keras, bukan sesuatu yang hanya sekedar di jalani dan dilewati semata. Meskipun demikian Ibu saya sangatlah peduli dengan pendidikan saya, saya kira itulah alasan mengapa ia tak ingin membuang-buang uang untuk beli mainan tapi justru untuk biaya pendidikan. Tapi Ibu tak pernah bilang demikian, yang ia bilang hanya… mainan tak selalu menyenangkan!
Saya lulus kelas 6 SD dari sebuah sekolah dusun yang seolah tak dianggap di pedalaman pinggiran kota Bengkulu, demikian benar adanya, Adikku. Ketika Allah berkenan saya melanjutkan ke SMP favorit di kota itu sebagai satu-satunya lulusan SD yang diterima di sana, awalnya begitu banyak yang mencemooh dan menganggap remeh sosok lulusan SD kampung. Pun guru-guru saya di awal waktu SMP itu tak mempedulikan saya dan teman-teman yang juga dari pinggiran kota. Namun salah seorang teman saya itu justru mengatakan:
“Justru enak Nang, kita tak diperhitungkan. Tak ada beban bagi kita untuk selalu menjadi lebih baik. Santai aja lah…”
Dan benar itulah yang teman saya itu kemudian wujudkan sesuai kata-katanya menjadi peringkat teratas dari kelas 1 SMP hingga kelas 3 SMP favorit itu. Mengalahkan anak-anak yang dulu lulusan terbaik SD kota. Sementara saya naik turun kondisinya selama di sana.
Jangan kira pula, Adikku, bahwa jalan saya selalu mulus. Saya pun pernah dapat nilai terendah di salah satu mata pelajaran saat SMA. Meski sudah diberi kesempatan untuk mengulang ujian lagi… tetap saja nilai saya rendah. Malu ya pasti. Bahkan saya pernah panggil kepala sekolah SMA karena pakaian saya tak rapi dan harus ditonton dihadapan dewan guru. Siapa yang tak malu bukan?
Namun satu hal yang pasti Adikku, apa yang kita alami adalah pelajaran hidup yang selalu berharga. Tak ada gunanya menyesali terlalu lama apa yang tidak kita miliki. Karena tahukah bahwa apapun yang kita miliki atau apapun yang terjadi pada kita… itu adalah yang terbaik. Jika engkau mampu selalu berpikir:
“Inilah yang terbaik saat ini… namun aku harus lebih baik lagi”, Insya Allah engkau akan melihat jalan itu.
Saya tak selalu mendapatkan apa yang saya inginkan, tapi Allah selalu memberi apa yang saya butuhkan. Saya pun pernah merasa sedih dan tertekan ketika apa yang saya inginkan tak tercapai. Menyalahkan ini dan itu. Sama seperti dirimu saat ini. Tapi akan saya beritahu padamu agar engkau tak terlalu berlanjut dalam kondisi negatif ini…
“Itu semua tak ada gunanya. Tak ada yang perlu disalahkan. Karena ingat itu adalah yang terbaik. Mata kita tak secanggih “mata” Allah untuk melihat hikmah di balik itu semua… maka segeralah bangkit. Tak ada kata terlambat untuk memulai”
Baik… jujur saya pun mengakui bahwa Allah memberikan pengalaman hidup luar biasa untuk melihat negeri-negeri lainnya. Ke Jerman maupun ke Jepang kemudian dalam hidup saya. Itu bukan karena keluarga saya kaya sehingga saya bisa ke sana, tidak benar demikian, insya Allah. Itu karena hasil perjuangan keras dan penuh komitmen. Perjuangan seorang Bapak untuk terus mengejar impiannya menuntut ilmu dan di sisi lain membahagiakan keluarganya, hingga Allah berkenan mengirimnya sekolah di negeri itu. Dan juga sebuah perjuangan untuk bangkit dari seorang anak daerah yang jika engkau mencoba tanyakan di mana letak Bengkulu itu, maka akan lebih banyak yang diam daripada yang bisa menjawabnya.
Tapi ingatlah pula… tak selamanya orang yang pergi keluar negeri adalah orang yang “wah”. Tak sedikit pula yang hancur karena ia tak memiliki pendirian yang teguh terhadap arus dunia luar. Maka bersyukurlah bahwa engkau masih di jaga Allah dalam keluargamu. Dalam nuansa Indonesia yang penuh ukhuwah. Seindah-indahnya negeri luar… jauh lebih indah negeri sendiri. Itu harus saya katakan padamu, Adikku.
Baiklah… jika penjelasan saya kurang bisa engkau terima, akan aku ceritakan satu sosok lagi yang kuharap engkau mau mengambil teladan darinya.
Ia seseorang yang Allah berikan cobaan sepanjang hidupnya. Sejak awal jejaknya ke dunia tak ada satupun cahaya yang bisa ia lihat, karena Allah berkehendak menghijab penglihatannya dari dunia yang sudah penuh dosa dan godaan ini. Iya, betul ia buta Adikku.
Namun dengan kebutaannya itu ia tak pernah berhenti untuk terus berjalan, meski jalan yang ia lalui tak pernah ia ketahui seperti apa bentuknya. Dengan keterbatasannya itu… maka jangan bayangkan cobaan apa saja yang harus ia lalui. Karena tentu di sisinya dirimu lebih beruntung bisa melihat dunia yang juga penuh warna. Namun tahukah bahwa keterbatasannya itulah yang kemudian menjadi semangat baginya untuk membuktikan bahwa setiap orang adalah sosok penuh prestasi dan oleh karenanya berhak serta wajib untuk berprestasi.
Dari semangat seorang buta yang secara umum biasanya hanya akan dianggap sebagai sosok kurang penting… ia mampu menggebrak dunia. Setidaknya dunianya sendiri. Ialah Eko Ramaditya Adikara (www.ramaditya.multiply.com). Salah satu sosok yang sangat diperhitungkan dalam perusahaan video game papan atas dunia, Nintendo, dan salah satu IT developer profesional terkemuka Indonesia. Dapatkah engkau bayangkan, Adikku, seorang yang tak bisa melihat tuts keyboard komputer di depannya mampu membuat blog dan bahkan tulisan penuh inspirasi lainnya? Bahkan ia mampu membuat gubahan alunan musik yang indah yang juga digunakan dalam beberapa sound game-game terkenal.
Dan masih banyak orang-orang lain yang jika dibandingkan dirimu… mereka tak beruntung… namun mau dan mampu mengubah keberuntungannya!
Maka… masihkah engkau menganggap dirimu orang yang paling malang dan tak beruntung? Sementara engkau diberi kelengkapan yang begitu sempurna? Masihkah engkau akan mengeluh? Dan tak bertindak? Masya Allah… mari kita bersama-sama beristighfar jika masih demikian…”
Demikian balasan saya pada E-mailnya. Dengan sedikit harapan bahwa setidaknya ada perubahan pada dirinya. Sedikit apapun itu asalkan menjadi lebih baik… baginya itu adalah prestasi.
Semoga Anda pun selalu dan harus berprestasi!!! Memberi manfaat dan menginspirasi banyak orang!
(Sumber : http://danangap7.multiply.com/journal/item/32)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar